Jumat, 13 Januari 2017

SEJARAH KERAJAAN BANJAR



BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

KESULTANAN Banjar  berdiri pada tahun 1520 . Kesultanan Banjar semula  berada di Kampung Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kesultanan Banjar kemudian dipindah ke Martapura, Kabupaten Banjar yang disebut juga Kerajaan Kayu Tangi. Kesultanan Banjar masuk Islam pada 24 September 1526. Kesultanan Banjar dihapuskan  oleh pemerintah Belanda pada 11 Juni 1860. Pemerintahan darurat/pelarian berakhir 1905).
Ketika ibu kotanya masih di Banjarmasin, Kesultanan Banjar disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di Kota Negara, sekarang merupakan ibukota Kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu Hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu Hindu Sambas runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan Panembahan Sambas Hindu yang merupakan keturunan bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana.Kesultanan Banjar mulai me¬ng¬alami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 de¬ngan lada se¬ba¬¬gai komoditas da¬-gang.  Secara prak¬tis, barat daya, teng¬gara dan timur pu¬lau Kalimantan membayar upeti pa¬¬da Kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa
1


BAB II
ISI
a.    Sebelum kedatangan/masuknya pengaruh Hindu-Budha
Menurut Kulke, formasi negara di Asia Tenggara terjadi dalam tiga fase, yaitu negara suku, negara awal, dan negara kerajaan. Negara suku dapat menjelaskan keberadaan Negara Nan Sarunai sebagai fase pertama, dan fase kedua yaitu negara awal sebagai masa transisi untuk menjelaskan Negara Dipa dan Negara Daha.
Pada umumnya dalam mengungkapkan dan menjelaskan suatu negara tradisional sangat bertumpu kepada historiografi tradisional seperti babad, hikayat, atau cerita rakyat. Historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan, yaitu: (1) etnosentrisme, (2) rajasentrisme, (3) antroposentrisme. Demikian pula dalam melacak latar belakang keberadaan Negara Nan Sarunai, Negara Dipa dan Negara Daha masih sangat tergantung kepada cerita rakyat berbentuk nyanyian Orang Maanyan dan Hikayat Banjar.
Dalam cerita rakyat dan Hikayat Banjar, di Kalimantan Selatan ini dulunya terdapat sebuah negara bernama Nan Sarunai lalu sirna, kemudian muncul Negara Dipa, lalu digantikan oleh kerajaan Daha.
Nan Sarunai Sebagai Negara Suku
Penduduk asli Pulau Kalimantan adalah Dayak. Khusus untuk yang menghuni sekitar Kalimantan Selatan adalah Dayak Ngaju. Orang Dayak Ngaju terbagi lagi dalam empat suku besar, yaitu: (1) Ngaju; (2) Maanyan; (3) Lawangan; dan (4) Dusun.
Orang Dayak Maanyan dulunya menghuni daerah bernama Sarunai yang terletak di sekitar aliran Sungai Tabalong. Sarunai secara sederhana berarti yang sangat termasyur. Kemasyurannya mungkin sampai ke Madagaskar. Hal ini didukung oleh para pakar yang menyatakan, bahwa ada persamaan bahasa antara bahasa orang Madagaskar dengan orang Maanyan.Di Sarunai Orang Maanyan merupakan masyarakat homogen. Kehidupan berorganisasi bermasyarakat dikendalikan di rumah betang yang kemudian berkembang menjadi penataan bernegara. Ketika penataan organisasi bernegara secara sederhana dioperasionalkan, maka terbangunlah sebuah negara suku yang dikenal dengan nama Negara Nan Sarunai.Pada Abad XIV, Negara Nan Sarunai diserang oleh Majapahit dan mengalami kekalahan. Dampak dari serangan ini, membuat orang Maanyan eksodus meninggalkan Sarunai. Peristiwa tragis ini kemudian dituangkan kedalam nyanyian atau wadian yang kemudian ditranformasikan kepada generasi berikutnya.Dalam eksodus itu, Orang Maanyan terpecah dan tersebar menjadi tujuh suku kecil yang masing-masing bernama: (1) Maanyan Siung bermukim di Telang, Paju Epat dan Buntok, (2) Maanyan Patai bermukim di aliran Sungai Patai, (3) Maanyan Paku berdomisili di wilayah Tampa, (4) Maanyan Paju X bermukim di sepanjang aliran Sungai Karau dan Barito, (5) Maanyan Paju Epat bermukim di wilayah aliran sungai yang sama dengan pemukiman Paju X, (6) Maanyan Dayu menghuni aliran Sungai Dayu, dan (7) Maanyan, mereka menghuni di wilayah Bintang Karang, Tumpang Murung, Dusun Timur, Tamiang Layang, Belawa, Tupangan Daka dan Barito.
2
b. Masuknya pengaruh Hindu-Budha (perkembangan kerajaan   Hindu-Budha)
Dalam sebuah sejarah Banjar, sekitar abad XII berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Negara Dipa. Kerajaan ini dibangun oleh Empu Jatmika. Ia datang ke Pulau Hujung Tanah (Kalimantan) dengan rombongannya memakai kapal Prabajaksa, dalam rangka memenuhi wasiat almarhum ayahnya, Mangkubumi. Sepeninggalan ayahnya Empuh Jatmika disuruh meninggalkan Negeri Keeling, dan mencari tempat tinggal baru yang tanahnya panas dan berbau harum. Maka sampailah disuatu tempat yang bernama Pulau Hujung Tanah. Di daerah inilah ia kemudian menemukan tanah yang panas dan berbau harum seperti yang diwasiatkan oleh ayahnya, maka kemudian ia membuat Candi Agung dan Empuh Jatmika menyebut dirinya Maharaja di Candi tersebut.
Sebagai tokoh pimpinan yang kemudian diakui oleh penduduk daerah tersebut, maka ia memerintahkan Tumenggung Tatah Jiwa dan Arya Megatsari menaklukan orang-orang Batang Tabalong, Batang Balang, Batang Petap, Batang Alai dan Amandit serta Labuhan Amas dan orang-orang bukit. Dengan penaklukan ini, maka Negara Dipa semakin kuat dan wilayahnya bertambah luas. Sari Kaburungan sebagai raja ketiga dalam kerajaan Negara Dipa memindahkan pusat kerjaannya ke sebelah selatan. Pusat kerajaan yang baru ini dikenal dengan kerajaan Negara Daha. Pada saat itu pula Bandar Daha dipindahkan ke Muara Rampiu, kemudian ke Muara Bahan dan terakhir pindah ke Banjarmasin. Akhirnya Banjarmasin berfungsi sebagai Bandar baru. Maharaja Sukarama menjadi raja keempat dikerajaan Nagara Dipa menggantikan ayahnya Sari keburungan. Sukarama mempunyai tiga orang anak; Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumenggung dan Putri Galuh. Setelah wafatnya Sukarama, Pangeran Mangkubumi menggantikan kedudukannya sebagai raja, pada saat itu pula pecahnya perang saudara dimulai. Pangeran Tumenggung membunuh saudaranya sendiri Pangeran Mangkubumi lalu Pangeran Tumenggung menggantikan kekuasaan di Nagara Dipa.
Saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha, menjelang akhir kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya yang bernama Raden Samudera. Akan tetapi, wasiat tersebut ditentang oleh ketiga anak Raden Sukarama yaitu Mangkubumi, Tumenggung dan Bagulung. Karena hal itu dan Raden Samudra baru berumur 7 tahun maka yang menggantikan  Sukarama saat ia wafat ialah anak tertuanya yaitu Mangkubumi namun ia tidak berkuasa lama karna ia terbunuh oleh pegawai istana atas hasutan Tumenngung setelah Mangkubumi wafat maka Temenggung lah yang menjadi raja.
3
    Raden Samudera sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir Sungai Barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung orang melayu itu disebut Kampung Oloh Masih yang artinya kampung orang melayu pimpinan Pati Masih. Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi Kota Banjarmasih karena ramainya perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap. Dalam pelarian politiknya, Raden Samudera melihat potensi Banjarmasih dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan kekuatan potensial untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Negara Daha. Dalam serangan pertamanya Raden Samudra berhasil menguasai Pelabuhan Muara Bahan yang mana pelabuhan ini sering di kunjungi oleh pedagang dari Jawa, Malaka bahkan Gujarat. Setelah beberapa serangan selalu seimbang maka Patih menyarankan  kepada Raden Samudra agar meminta bantuan ke Demak. Dan yang menjadi Sultan Demak waktu itu ialah Sultan Trenggono, dimana ia bersedia membantu  Raden Samudra tetapi Raden Samudra harus masuk agama islam, kemudian Raden Samudrapun menyanggupi sarat yang di berikan Demak tersebut. Kemudian Demak mengirim seribu tentara untuk membantu Raden Samudra dan mengirim seorang penghulu (Khatib Dayan) untuk mengislamkann rakyat Banjar. Maka sejak saat itu Pangeran Samudra dinobatkan sebagai Sultan banjar pertama yang berkedudukan di ibukota Banjarmasih (Banjarmasin). Sejak beliaulah, Islam berkembang secara resmi dan menjadi Agama kerajaan didaerah ini.















4
c. Masuknya Pengaruh Islam(perkembangan kerajaan islam)
Raden Samudera sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir Sungai Barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung orang melayu itu disebut Kampung Oloh Masih yang artinya kampung orang melayu pimpinan Pati Masih. Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi Kota Banjarmasih karena ramainya perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap. Dalam pelarian politiknya, Raden Samudera melihat potensi Banjarmasih dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan kekuatan potensial untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Negara Daha. Dalam serangan pertamanya Raden Samudra berhasil menguasai Pelabuhan Muara Bahan yang mana pelabuhan ini sering di kunjungi oleh pedagang dari Jawa, Malaka bahkan Gujarat. Setelah beberapa serangan selalu seimbanag maka Patih menyarankan  kepada Raden Samudra agar meminta bantuan ke Demak. Dan yang menjadi Sultan Demak waktu itu ialah Sultan Trenggono, dimana ia bersedia membantu  Raden Samudra tetapi Raden Samudra harus masuk agama islam, kemudian Raden Samudrapun menyanggupi syarat yang di berikan Demak tersebut. Kemudian Demak mengirim seribu tentara untuk membantu Raden Samudra dan mengirim seorang penghulu (Khatib Dayan) untuk mengislamkann rakyat Banjar. Maka sejak saat itu Pangeran Samudra dinobatkan sebagai Sultan banjar pertama yang berkedudukan di ibukota Banjarmasih (Banjarmasin). Sejak beliaulah, Islam berkembang secara resmi dan menjadi Agama kerajaan didaerah ini.
Sultan Suriansyah(Raden Samudra) merupakan raja pertama dari Kerajaan Banjar dan raja pertama yang memeluk agama Islam. Agama Islam merupakan agama Negara dan menempatkan kedudukan para ulama pada tempat yang terhormat dalam Negara. Kedudukan agama Islam sebagai agama Negara terlihat dengan jelas pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Wasik Billah yang mengeluarkan Undang-Undang Negara pada tahun 1835 yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Sultan Adam, yang mana dalm Undang-Undang tersebut terlihat jelas bahwa sumber hukum yang dipergunakan adalah hukum Islam. Oleh karena itu, kerajaan Banjar disebut juga sebagai kerajaan Islam, dan oleh karena itu pulalah urang Banjar dikenal sebagai orang yang beragama Islam.Kerajaan Banjar adalah kerajaan terakhir yang pernah ada di daerah Kalimantan Selatan. Kerajaan tertua yang pernah ada adalah kerajaan Tanjungpura atau Tanjungpuri, sebuah kerajaan migrasi orang-orang Melayu dengan membawa unsur kebudayaan Melayu dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi.
5
Banyak pendapat yang berbeda tentang dimana lokalisasi kerajaan Tanjungpura ini. Salah satu diantaranya ada yang berpendapat bahwa Tanjungpura merupakan kota Tanjung ibukota Kabupaten Tabalong sekarang ini. [2] J.J. Ras menyebutkan bahwa Tanjung merupakan sebuah daerah tempat imigrasi Melayu yang pertama ke Kalimantan. Mpu Prapanca menyebutkan dalam Negarakartagama (1365) dengan nama Nusa Tanjung Negara dan ini identik dengan Pulau Hujung Tanah, dengan kota terpenting adalah Tanjungpuri. Pada bagian llain Mpu Prapanca menyebutkan nama Bakulapura adalah nama lain dari bahasa Sanskerta untuk menyebutkan nama Tanjungpura. Kalau kerajaan Tanjungpura merupakan migrasi Orang Melayu Sriwijaya, hal ini berarti puela ahwa ke daerah ini telah masuk unsur kebudayaan agama Budha sebagai agama dari kerajaan Sriwijaya. Migrasi Melayu ke Kalimantan diperkirakan antara abad ke 12-13 Masehi. Dalam abad ke-16 muncul perkembangan baru dengan lahirnya kerajaan Banjar yang bercorak Islam di Kalimantan Selatan. Kerajaan Banjar berkembang pesat sampai abad ke-19 merupakan kerajaan Islam merdeka dengan nation baru bangsa Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan (1859-1915) maka bangsa Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan merdeka juga ikut lenyap, dan turun derajatnya menjadi bangsa jajahan dan kemudian dikenal sebagai Urang Banjar atau Orang Banjar.
•    Raja-raja Kerajaan Banjar (Sultan Banjar)
    Sultan Suriansyah (1520-1546). Nama kecil Raden Samudra. Raja Banjar pertama yang memindahkan pusat pemerintahan di Kampung Banjarmasih (Kuin) menggantikan Maharaja Tumenggung (Raden Panjang), Dia ahli waris yang sah sesuai wasiat kakeknya Maharaja Sukarama (Raden Paksa) dari Kerajaan Negara Daha dibantu Mangkubumi Aria Taranggana.  Raden Samudera memeluk Islam pada 24 September 1526. Makamnya di Kompleks Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Sunan Batu Habang. Dalam agama lama, Pangeran Samudra dianggap hidup membegawan di alam gaib sebagai sangiang digelari Perbata Batu Habang. Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah (1546-1570). Pemerintahannya dibantu mangkubumi Aria Taranggana. Makamnya di Kompleks Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Putih.
    Sultan Sultan Hidayatullah I bin Rahmatullah (1570-1595). Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Anggadipa. Makamnya di Kompleks Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Irang. Trah keturunannya menjadi raja-raja Taliwang dan sultan-sultan Sumbawa.
    Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah I (1595-1638).  Nama kecil Raden Senapati. Dia bukan anak dari permaisuri meskipun merupakan anak tertua. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Jayanagara dilanjutkan sepupunya Kiai Tumenggung Raksanagara. Gelar lain  Gusti Kacil/Pangeran Senapati/Panembahan Marhum/Raja Maruhum dan gelar Marhum Panembahan.  Sultan Mustain memindahkan ibukota kerajaan ke Martapura. Oleh Suku Dayak yang menghayati Kaharingan, Mustain dianggap hidup sebagai sangiang di Lewu Tambak Raja, dan dikenal sebagai Raja Helu Maruhum Usang. Trah keturunannya menjadi raja-raja Kotawaringin, Tanah Bumbu dan Bangkalaan
    Sultan Inayatullah bin Mustainbillah (1638 -1645). Pemerintahannya dibantu adiknya Pangeran di Darat sebagai mangkubumi. Gelar lain Ratu Agung/Ratu Lama dimakamkan di Kampung Keraton, Martapura. Adiknya Pangeran Dipati Anta Kasuma diangkat menjadi raja muda di wilayah sebelah barat yang disebut Kerajaan Kotawaringin
    Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah (1645-1660). Nama kecilnya Raden Kasuma Alam. Pemerintahannya dibantu mangkubumi pamannya Panembahan di Darat, dilanjutkan pamannya Pangeran Dipati Anta Kasuma, dilanjutkan paman tirinya Pangeran Dipati Mangkubumi (Raden Halit). Gelar lain Saidullah adalah Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah.
    Sultan Ri’ayatullah/Tahalidullah bin Sultan Mustainbillah (1660-1663). Nama kecilnya Raden Halit. Dia menjadi pelaksana tugas bagi Raden Bagus Kasuma, putra mahkota yang belum dewasa. Sebagai Penjabat Sultan dengan gelar resmi dalam khutbah Sultan Rakyatullah (Rakyat Allah). Pemerintahannya dibantu mangkubumi keponakan tirinya Pangeran Mas Dipati. Tahun 1663 dia dipaksa menyerahkan tahta kepada kemenakannya Pangeran Dipati Anom II/Sultan Agung yang berpura-pura akan menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota Raden Bagus Kesuma, tetapi ternyata untuk dirinya sendiri yang hendak menjadi sultan.




7
    Sultan Amrullah bin Sultan Saidullah (1663-1679). Nama kecil Raden Bagus Kasuma. Masa pemerintahannya sering ditulis tahun 1660-1700. Pada tahun 1660-1663 dia diwakilkan oleh Sultan Rakyatullah dalam menjalankan pemerintahan karena dia belum dewasa. Tahun 1663 paman tirinya Pangeran Dipati Anom II/Sultan Agung merampas tahta dari Sultan Rakyatullah yang semestinya dirinyalah sebagai ahli waris yang sah sebagai Sultan Banjar berikutnya. Tahun 1663-1679 sebagai raja pelarian dia memerintah dari pedalaman (Alay).
    Sultan Agung/Pangeran Suryanata II bin Sultan Inayatullah (1663-1679). Nama kecil  Raden Kasuma Lalana. Mengkudeta kemenakannya Raden Bagus Kasuma sebagai Sultan Banjar. Dengan bantuan suku Biaju, memindahkan pusat pemerintahan ke Sungai Pangeran (Banjarmasin). Pemerintahannya dibantu sepupunya Pangeran Aria Wiraraja, putera Pangeran Ratu. Sebagai raja muda ditunjuk adik kandungnya, Pangeran Purbanagara. Dia berbagi kekuasaan dengan paman tirinya Pangeran Ratu (Sultan Rakyatullah) yang kembali memegang pemerintahan Martapura sampai mangkat pada 1666. Gelar lain  Pangeran Dipati Anom II
    Sultan Amrullah (Raden Bagus Kasuma) bin Sultan Saidullah (1679-1700). Sempat lari ke daerah Alay (1663-1679) kemudian menyusun kekuatan dan berhasil membinasakan pamannya tirinya Sultan Agung/Ratu Lamak beserta anaknya Pangeran Dipati/Ratu Agung (Raja Negeri Nagara), kemudian naik tahta kedua kalinya. Saudara tirinya Pangeran Dipati Tuha (Raden Basus) diangkat sebagai Raja Negeri Tanah Bumbu dengan wilayah dari Tanjung Silat sampai Tanjung Aru
    Sultan Tahmidullah I/Sultan Tahlilullah/Sultan Surya Alam bin Sultan Amrullah (1700-1717). Gelar lain Panembahan Kuning. Mangkubumi dijabat adiknya Panembahan Kasuma Dilaga
    Panembahan Kasuma Dilaga bin Sultan Amrullah (1717-1730).
    Sultan Hamidullah/Sultan Ilhamidullah bin Sultan Tahlilullah/Sultan Tahmidullah I (1730-1734). Gelar lain  Sultan Kuning atau Pangeran Bata Kuning. Panglima perang dari La Madukelleng yang menyerang Banjarmasin pada tahun 1733.





8
    Sultan Tamjidullah I bin Sultan Tahlilullah/Sultan Tahmidullah I (1734-1759). Gelar lain Sultan Sepuh/Panembahan Badarulalam. Bertin¬dak sebagai wali Putra Mahkota Pangeran Mu¬hammad Aliuddin Aminullah yang bergelar Ratu Anom yang belum dewasa. Tamjidullah I yang bergelar Sultan Sepuh berusaha Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti garis keturunannya. Adiknya Pangeran Nullah dilantik sebagai mangkubumi. Tamjidullah I mangkat 1767.
     Sultan Muhammadillah/Muhammad Aliud¬din Aminullah bin Sultan Hamidullah (1759-1761). Menggantikan mertuanya Sultan Sepuh/Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar. Setelah itu Sultan Sepuh tidak lagi memakai gelar sultan tetapi hanya sebagai panembahan. Gelar lain Sultan Muhammadillah/Sul¬tan Aminullah/Muhammad Iya’uddin Aminullah/Muhammad Iya’uddin Amir Ulatie ketika mangkat anak-anaknya masih belum dewasa tahta kerajaan kembali di bawah kekuasaan Tamjidillah I tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata Dilaga sebagai wali Putra Mahkota.
     Sultan Tahmidullah II/Sultan Nata bin Sultan Tamjidullah I (1761-1801). Semula sebagai wali Putra Mahkota dengan gelar Panembahan Kaharuddin Halilullah. Pemerintahan di¬bantu oleh Perdana Menteri/mangkubumi Ratu Anom Ismail. Gelar lain  Susuhunan Nata Alam (1772) Pangeran Nata Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul Mu’¬mi¬nin Abdullah (1762) Sulaiman Sai¬dullah I (1787) Panembahan Batu (1797) =Panembahan Anom. Mendapat bantuan VOC untuk menangkap Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang menuntut tahta dengan bantuan suku Bugis-Paser yang gagal. Dia kemudian menjalin hubungan dengan suku Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni Belanda 14 Mei 1787 dan diasingkan ke Srilangka.
    Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II (1801-1825). Mendapat gelar Sultan Muda atau Pangeran Ratu Sultan Sulaiman sejak tahun 1767 ketika berusia 6 tahun. Dibantu adiknya Pangeran Mangku Dilaga dengan gelar Ratu Anum Mangku Dilaga sebagai mangkubumi (dihukum bunuh karena merencanakan kudeta), dilanjutkan puteranya Pangeran Husin Mangkubumi Nata bin Sultan Sulaiman. Sultan Sulaiman digantikan anaknya Sultan Adam. Trah keturunannya menjadi raja di Kerajaan Kusan, Batoe Litjin dan Poelau Laoet. Hindia Belanda yang jatuh ke tangan Inggris dan  melepaskan kekuasaannya di Banjarmasin. Hindia Belanda datang kembali ke Banjarmasin menegaskan kekuasaannya.

9
    Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mutamidullah (1825-1857). Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782. Pemerintahannya dibantu adiknya Pangeran Noh dengan gelar Ratu Anum Mangkubumi Kencana sebagai mangkubumi yang dilantik Belanda pada 7 September 1851, dan Pangeran Abdur Rahman sebagai Sultan Muda. Ketika mangkat terjadi krisis suksesi dengan tiga kandidat penggantinya yaitu Pangeran Prabu Anom, Pangeran Tamjidullah II dan Pangeran Hidayatullah II. Belanda sebelumnya sudah mengangkat Tamjidullah II sebagai Sultan Muda sejak 8 Agustus 1852 yang juga  merangkap jabatan mangkubumi dan kemudian menetapkannya sebagai sultan Banjar.  Sehari kemudian Pangeran Tamjidillah II menandatangani surat pengasingan. Kandidat sultan lainnya pamannya Pangeran Prabu Anom yang diasingkan ke Bandung pada 23 Februari 1858. Sebelumnya Sultan Adam sudah mengutus surat ke Batavia agar pengangkatan Tamjidullah II dibatalkan. Sultan Adam sempat membuat surat wasiat yang menunjuk cucunya Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar sebagai penggantinya. Inilah yang menjadi dasar perlawanan segenap bangsawan terhadap Hindia Belanda.
     Sultan Tamjidullah II al-Watsiq Billah bin Pangeran Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam (1857-1859). Pada 3 November 1857 Tamjidullah II diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar, padahal dia anak selir meskipun sebagai anak tertua. Belanda kemudian mengangkat Hidayatullah II sebagai mangkubumi. Pengangkatan Tamjidullah II ditentang segenap bangsawan karena menurut wasiat semestinya Hidayatullah II sebagai Sultan, karena dia anak permaisuri. Pada 25 Juni 1859, Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar dan  mengirimnya ke Bogor.
     Sultan Hidayatullah II bin Pangeran Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam (1859-1862). Hidayatullah II satu-satunya pemimpin negeri Banjar sesuai wasiat Sultan Adam. Sebelumnya sebagai mangkubumi dia diam-diam menjadi oposisi Tamjidullah II, misalnya dengan mengangkat Adipati Anom Dinding Raja (Jalil) sebagai tandingan Raden Adipati Danu Raja yang berada di pihak Belanda/Sultan Tamjidullah II. Perjuangan Hidayatullah II dibantu oleh Demang Lehman. Ketika mengunjungi Banua Lima, dia dilantik oleh rakyat Banua Lima sebagai Sultan Banjar, dan Pangeran Wira Kasuma sebagai mangkubumi. Pada 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar. Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur.


10
     Pangeran Antasari bin Pangeran Masohut bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1862). Pada 14 Maret 1862 atau  11 hari setelah Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur, diproklamasikan  pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Antasari  dibantu Tumenggung Surapati sebagai panglima perang. Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman Barito, Murung Raya, Kalteng. Antasari dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional dan wafat 11 Oktober 1862 di kampung Sampirang, Bayan Begak, Puruk Cahu karena penyakit cacar. Jenazahnya dimakamkan kembali 11 November 1958 di Kompleks Makam Pangeran Antasari, Banjarmasin.
    Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (1862-1905). Sebagai kepala Pemerintahan Pagustian meneruskan perjuangan ayahnya Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda dibantu kakaknya Panembahan Muda/Gusti Muhammad Said sebagai mangkubumi dan Panglima Batur sebagai panglima perang. Dia melantik menantunya Pangeran Perbatasari bin Pangeran Muhammad Said sebagai Sultan Muda. Dia sempat mengirim Bukhari ke Kandangan untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Muhammad Seman gugur pada 24 Januari 1905 ditembak Belanda yang mengakhiri Perang Banjar. Perlawanan terhadap kolonial dilanjutkan oleh Gusti Berakit, putera Sultan Muhammad Seman. Negeri Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman Jepang). Ir H Muhammad Noor (Gubernur Kalimantan I/sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan), juga sempat dinobatkan sebagai pangeran untuk menduduki dan menghidupkan jabatan Kesultanan Banjar, namun perjuangan fisik melawan Belanda/NICA di masa revolusi serta kesibukannya sebagai menteri PPU di Jakarta di masa Presiden Soekarno tidak memungkinkan beliau untuk membangkitkan kembali Kesutanan Banjar.
    Pangeran Khairul Saleh, trah Sultan Sulaiman (2010-sekarang).  Setelah  lama mengalami kevakuman, para zuriat Kesultanan Banjar bertekad untuk menghidupkan kembali Kesultanan Banjar. Maka melalui musyawarah Tinggi Adat para zuriat yang tergabung dalam Lembaga Adat dan  Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB), pada 24 Juli 2010 resmi menganugerahkan gelar Pangeran dan menobatkan Gusti Khairul Saleh (Bupati Kabupaten Banjar 2005-2015) sebagai Raja Muda.

11
D. Masuknya pengaruh Barat/Kolonial Belanda
Banjarmasin sebagai ibukota Kesultanan Banjar mulai berkemban menjadibandar perdagangan yang besar. Para pedagang dari berbagai suku datang ke Banjarmasin untuk mencari berbagai barang dagangan seperti ladahitam, rotan, damar, emas, intan, madu, dan kulit binatang (Ideham, 2007:20). Khusus lada hitam, komoditi yang satu ini saat itu menjadi primadona dalam perdagangan internasionalSelain berfungsi sebagai bandar perdagangan, penduduk di Banjarmasin (Orang Banjar) juga banyak yang berstatus sebagai pedagang. Mereka juga melakukan perdagangan sampai ke Pulau Jawa, tepatnya ke pelabuhan Bantam (Banten). Lewat perdagangan tersebut, informasi tentang bandar perdagangan di Banjarmasin sampai ke telinga orang Belanda. Kontak awal antara para pedagang Banjar dengan Belanda terjadi sekitar  tahun 1596 M, ketika Orang Banjar berdagang ke Banten. Dari sinilah Belanda tahu bahwa di Banjarmasin terdapat komoditi lada  hitam yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di pasaran internasional.  Pertemuan dengan para pedagang Banjar tersebut kemudian berlanjut dengan  pengiriman ekspedisi oleh Belanda ke Kesultanan Banjar pada tahun 1603 M di bawah pimpinan Admiral van Wouwijck. Tujuan pengiriman ekspedisi tersebut adalah untuk menjalin hubungan  perdagangan antara Belanda dan Sultan Mustain Billah. Pada tanggal 14 Februari 1606, Belanda kembali mengirimkan ekspedisi ke Kesultanan  Banjar, tetapi ekspedisi kedua ini gagal karena semua orang Belanda yang turut dalam ekspedisi kali ini dibunuh oleh Orang Banjar. Terbunuhnya orang-orang Belanda oleh Orang Banjar membuat Belanda semakin berambisi untuk memaksakan hubungan dagang, bahkan jika perlu menguasai Kesultanan Banjar. Maka dikirimlah ekspedisi ketiga pada tahun 1612 M. Menurut Irwin (dikutip dalam Ideham, 2007:21 dan dimuat dalam melayu.com), ekspedisi kali ini diperkuat dengan pengiriman kapal perang, yaitu de Hzewind, de Brack, de Halve Maan, dan Klein van de Veer. Akibat serbuan Belanda, Sultan Mustain Billah terpaksa memindahkan pusat pemerintahan ke Martapura. Upaya Belanda untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Banjar lewat ekspedisi pada tahun 1612 tidak sepenuhnya berhasil. Sekitar tahun 1635, Belanda memaksa Sultan Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah untuk menandatangani perjanjian monopoli lada hitam dengan harga yang ditetapkan oleh Belanda. Perjanjian tersebut tidak berjalan lancar karena pada tahun 1638 orang-orang Belanda dibunuh dan kapal-kapal perangnya ditenggelamkan oleh Orang Banjar.
12

•    Pengaruh Belanda di Kesultanan Banjar
Sulitnya menjalin hubungan dengan Kesultanan Banjar membuat Belanda bersiasat untuk menunggu tanpa mengurangi gairahnya untuk menguasai perdagangan lada hitam di Kesultanan Banjar. Siasat Belanda ini menemukan waktu yang tepat ketika terjadi perebutan tahta kepemimpinan di Kesultanan Banjar, antara Pangeran Muhammad Aminullah, anak dari Sultan Kuning dengan Hamidullah, adik dari Sultan Kuning. Perebutan tahta diawali ketika Sultan Kuning wafat pada tahun 1734 M dengan meninggalkan seorang puter yang masih berusia sekitar 5 tahun yang bernama Muhammad Aminullah. Sebagai pengampu tahta sementara, ditunjuk adik Sultan Kuning bernama Hamidullah, yang setelah diangkat, bergelar Sultan Tamjidillah I. Setelah Muhammad Aminullah dewasa dan meminta tahta Kesultanan Banjar, ternyata Sultan Tamjidillah I tidak memberikan hak tersebut kepada Muhammad Aminullah. Muhammad Aminullah bahkan hanya diberikan jabatan mangkubumi dan dikawinkan dengan puteri sulung Sultan Tamjidillah I. Belanda yang sejak awal berniat untuk menanamkan pengaruh di Kesultanan Banjar melihat peluang untuk mendekati salah satu pihak dalam perebutan tahta. Belanda akhirnya mendekati Sultan Tamjidillah I. Berkat bantuan dari Belanda, Muhammad Aminullah terus dipojokkan dengan cara ditahan di istana. Tetapi pada tahun 1753 M, Muhammad Aminullah berhasil melarikan diri ke Tabanio, suatu daerah yang terletak di Tanah Laut, ujung selatan dari Kalimantan Selatan yang menghadap ke barat laut Jawa. Di tempat tersebut, Muhammad Aminullah berkomplot dengan beberapa bajak laut dan membangun markas perlawanan dengan tujuan awal mengacaukan jalur perdagangan dari dan menuju ke Kesultanan Banjar. Sebagai balasan atas jasanya dalam mendesak Muhammad Aminullah untuk keluar dari istana, Belanda memaksa Sultan Tamjidillah I untuk menandatangani perjanjian perdagangan lada  hitam pada tahun 1747 M dan izin untuk mendirikan  kota di Tabanio. Belanda yang telah menanamkan  pengaruh di Kesultanan Banjar, melalui siasat politiknya, juga menjalin hubungan dengan Muhamamad Aminullah yang telah bergabung dengan komplotan bajak laut di Tabanio. Belanda melihat kekuatan kelompok  Muhammad Aminullah  untuk memotong  jalur  perdagangan  di  Kesultanan  Banjar  mempunyai akibat yang cukup besar.
Salah satu rencana  Belanda untuk menguasai perekonomian lada hitam  bisa menjadi kacau jika terus menerus mendapat gangguan dari Muhammad Aminullah. Inilah alasan Belanda untuk mendekati Muhammad Aminullah.
13
Belanda bahkan menawarkan bantuan kepada Muhammad Aminullah untuk kembali meminta haknya sebagai pewaris tahta di Kesultanan Banjar. Sikap Belanda dengan memihak kedua kubu dibuktikan ketika Belanda yang diwakili oleh J.A. Paraficini membuat surat perjanjian dengan Sultan Tamjidillah I pada tanggal 20 Oktober 1756. Seminggu kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Oktober 1756, Paraficini juga membuat perjanjian dengan Muhammad Aminullah di Tabanio (Kayutangi, Tatas). Dalam pernyataannya, Paraficini menjanjikan kepada Sultan Tamjidillah bahwa Belanda akan cenderung memberikan dukungan (bantuan) kepada SultanTamjidillah I. Tetapi pada kesempatan lain, Paraficini juga memberikan pernyataan yang sama kepada Muhammad Aminullah. Siasat Belanda yang didasari oleh kekhawatiran atas kekuatan Muhamma Aminullah, ternyata menemukan jawaban. Dengan laskar yang sangat besar, Muhammad Aminullah  menyerang Sultan Tamjidillah I pada tanggal 2 Agustus 1759. Atas dasar serangan inilah, Sultan Tamjidillah terpaksa menyerahkan tahta Kesultanan Banjar  kepada  Muhammad Aminullah yang akhirnya ditabalkan sebagai sultan pada tanggal 3 Agustus 1759.  Masa pemerintahan Sultan Muhammad Aminullah berlangsung sangat singkat karena pada tanggal 16 Januari 1971 beliau meninggal dunia. Sebagaimana halnya dengan ayahnya, Sultan Kuning, di akhir hayatnya Sultan Muhammad Aminullah juga  meninggalkan dua orang putera yang masih kecil, bernama Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir . Dengan alasan belum cukup umur untuk mengampu jabatan sultan, maka jabatan wali sultan di Kesultanan Banjar untuk sementara diserahkan kepada Pangeran Nata Dilaga, anak Sultan Tamjidillah I, yang bergelar Sultan Tahmidillah  Seperti ayahnya, Sultan Tahmidillah II juga memutuskan secara sepihak dengan menyatakan bahwa pengganti dirinya kelak sebagai sultan di Kesultanan Banjar bukan Pangeran Abdullah maupun Pangeran Amir, melainkan puteranya yang bernama Sulaiman (Suleman) Saidullah. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sultan Tahmidillah II selepas sembahyang Jumat pada bulan Januari 1767. Dengan pernyataan tersebut, maka peluang bagi Pangeran Abdullah maupun Pangeran Amir untuk menduduki tahta di Kesultanan Banjar praktis telah tertutup.Pada usia sekitar 18 tahun (1772 M), bersama seorang Belanda bernama W.A. Palm, Pangeran Abdullah berencana untuk merebut kembali tahta Kesultanan Banjar. Perencanaan tersebut ternyata memerlukan waktu yang cukup lama sampai akhirnya siap untuk dijalankan. Akan tetapi rencana penyerbuan ke Kesultanan Banjar ternyata telah tercium oleh Sultan Tahmidillah II.

14
Dengan berpura-pura mengundang jamuan makan malam, Pangeran Abdullah diracun, dicekik, dan dibunuh oleh kaki-tangan Sultan Tahmidillah II.Kejadian ini berlangsung pada tanggal 16 Maret 1772. Pembunuhan terhadap Pangeran Abdullah ternyata berimbas langsung terhadap Pangeran Amir. Atas dasar kebijakan agar tidak mengobarkan pemberontakan serupa, Sultan Tahmidillah II memaksa  secara halus kepada Pangeran Amir untuk meninggalkan Kesultanan Banjar (Banjarmasin). Pada tahun 1782 M, Pangeran Amir meninggalkan Banjarmasin menuju ke daerah yang bernama Pasir daerah tersebut terdapat paman beliau, seorang keturunan Bugis bernama Arung Turawe (Torawe). Arung Torawe adalah saudara dari ibu Pangeran Amir yang merupakan seorang puteri berdarah Bugis. Pangeran Amir menyusun kekuatan di Pasir dengan Arung Turawe untuk merebut tahta di Kesultanan Banjar. Rencana untuk menyerang Kesultanan Banjar akhirnya dilaksanakan pada bulan Oktober 1785 M. Pasukan Pangeran Amir dan Arung Turawe yang terdiri dari sekurangnya 60 kapal mendarat di Tabanio dan mulai merebut benteng-benteng yang termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar (Sjamsuddin, 2001:30-31 di muat di melayu.com)
Di sisi lain, kekuatan Kesultanan Banjar mulai bertambah karena mendapat bantuan dari Belanda. Gabungan kekuatan antara Sultan Tahmidillah II dan Belanda pada akhirnya berhasil mematahkan perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Bugis dan Pangeran Amir dalam suatu perang pada tanggal 14 Maret 1786. Pangeran Amir akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Ceylon (Srilanka) pada tahun 1789 M. Setelah perang, Belanda meminta sejumlah kompensasi kepada Sultan Tahmidillah II berupa lada, emas, permata (intan), serta izin untukmendirikan kantor di Tabanio, Hulu sungai, Pulau Kaget, dan Tatas. Perjanjian antara Kesultanan Banjar yang diwakili oleh Sultan Tahmidillah II dan Belanda yang diwakili oleh Kapten Christoffel Hoffman ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1787. Dalam perjanjian pada tanggal 13 Agustus 1787, salah satu poin penting yang menunjukkan bahwa Belanda telah menanamkan pengaruh yang kuat di Kesultanan Banjar adalah pengalihan kedaulatan atas Kesultanan Banjar kepada Belanda dan penyerahan bagian-bagian penting dari Kesultanan Banjar yang kemudian menjadi wilayah Belanda. Daerah tersebut, menurut Pasal 6 perjanjian 13 Agustus 1787, membentang dari pantai Timur Kalimantan ke barat, termasuk Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kota Waringin dengan lingkungan sekitar dan daerah taklukannya, serta sebagian dari desa Tatas Pada tahun 1801 M, Sultan Tahmidillah II meninggal dunia.

15
Sebagai pengganti kedudukan Sultan Tahmidillah II, pada tahun1801, putera beliau bernama Sulaiman (Suleman) Saidullah ditabalkan sebagai sultan di Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Suleman Almutamidullah bin Sultan Tahmidillah II (1801 - 1825) .
Pada tahun 1825 M, Sultan Suleman mengundurkan diri sebagai sultan dan digantikan oleh puteranya yang bergelar Sultan Adam Al Wasik Billah (1825-1857). Pada masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah, dikeluarkan suatu undang-undang negara pada tahun 1835 M yang dikenal sebagai Undang-undang Sultan Adam. Di dalam Undang-undang tersebut, terlihat sangat jelas bahwa sumber hukum di dalam Kesultanan Banjar bersumberkan pada hukum Islam. Oleh karena itulah kerajaan Banjar disebut sebagai kerajaan Islam dan Banjar dikenal sebagai orang yang beragama Islam.
•    Masa Perlawanan Terhadap Belanda
Akar permasalahan perlawanan terhadap Belanda dimulai dari perebutan tahta. Perebutan ini diawali dari meninggalnya putera mahkota Kesultanan Banjar, Sultan Muda Abdurrahman, pada tahun 1852 M. Meninggalnya putera mahkota meninggalkan bibit-bibit perpecahan di Kesultanan Banjar. Pihak-pihak yang bertikai terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu pertama, Pangeran Tamjidillah yang mempunyai kedekatan dengan Belanda. Beliau dalah anak dari hasil perkawinan antara Sultan Muda Abdurrahman dengan seorang selir bernama Nyai Besar Aminah. Kedua, Pangeran Hidayatullah yang mempunyai kedekatan dengan rakyat di Kesultanan Banjar. Beliau adalah anak dari hasil perkawinan kedua antara Sultan Muda Abdurrahman dengan Permaisuri Ratu Siti, puteri Mangkubumi Nata. Perkawinan pertama Sultan Muda Abdurrahman dengan Permaisuri Ratu Antasari, saudara perempuan Pangeran Antasari, tidak menghasilkan putera. Ketiga, Pangeran Prabu Anom, adik dari Sultan Muda Abdurrahman yang mempunyai kedekatanngan birokrasi istana. Dari ketiga kelompok tersebut, Pangeran Tamjidillah mempunyai kedudukan yang menguntungkan karena kedekatannya dengan Belanda. Hal ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Pangeran Tamjidillah untuk menguatkan posisinya dalam menduduki jabatan sebagai sultan. Di sisi lain, Belanda juga mempunyai kepentingan di Kesultanan Banjar. Dengan diangkatnya Pangeran Tamjidillah sebagai sultan, maka secara langsung kepentingan dan pengaruh Belanda di Kesultanan Banjar akan terjamin. Sikap Belanda dibuktikan dengan mengangkat secara sepihak Pangeran Tamjidillah sebagai putera mahkota pada tanggal 8 Agustus 1852. Sementara itu, pada tanggal 9 Oktober 1856, Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi.
16
Menurut A. Ghazali Usman , pada tanggal 1 November 1857, Sultan Adam Al Wasik Billah meninggal dunia. Pada tanggal 3 November 1857, secara sepihak, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai sultan di Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Tamjidillah II. Di sisi lain, untuk menghindari perebutan tahta, Belanda menangkap Pangeran Anom dan membuangnya ke Jawa  Terpilihnya Sultan Tamjidillah II tidak secara langsung bisa meredakan ketegangan seputar perebutan tahta. Kedekatan sultan dengan Belanda diartikan sebagai keberpihakan secara total Kesultanan Banjar kepada kekuasaan Belanda. Selain itu, Sultan Tamjidillah II merupakan anak dari seorang selir yang, menurut tradisi Kesultanan Banjar, tidak berhak untuk diangkat sebagai putera mahkota, terlebih lagi menjadi sultan. Hal inilah yang menimbulkan perpecahan di antara pihak sultan, birokrasi istana (khususnya Pangeran Hidayatullah), dan rakyat. Gesekan seputar ketidakpuasan pengangkatan sultan baru akhirnya menimbulkan beberapa gerakan Muning, yaitu gerakan sosial masyarakat tani yang kemudian menjadi motor dalam Perang Banjar (1859-1905).  Pangeran Hidayatullah yang merupakan pewaris tahta yang sah, secara bertahap berusaha merebut pengaruh dari bangsawan, pemimpin daerah di wilayah Kesultanan Banjar, dan rakyat. Dukungan dari kaum bangsawan datang dari orang-orang seperti Nyai Ratu Komala Sari, isteri almarhum Sultan Adam Al Wasik Billah, dan tiga orang puteri beliau, Ratu Kasuma egara, Ratu Aminah, dan Ratu Keramat, serta Pangeran Antasari. Dukungan dari pemimpin daerah datang dari Panembahan Muda Datu Aling, pemimpin Gerakan  Muning di daerah Muning, dan Jalil, pemimpin daerah Banua Lima. Besarnya dukungan terhadap Pangeran Hidayatullah membuat Sultan tamjidillah II merasa terdesak. Beliau kurang mendapatkan dukungan dari belanda karena Belanda menganggap bahwa sengketa perebutan tahta di kalangan para bangsawan di Kesultanan Banjar adalah persoalan internal yang tidak secara langsung berpengaruh terhadap kepentingan Belanda. Akhirnya, karena dilanda ketakutan akan pecahnya kudeta terhadap dirinya, Sultan Tamjidillah II melarikan diri ke Banjarmsin pada bulan April 1859  Setelah larinya Sultan Tamjidillah II, praktis terjadi kekosongan pemerintahan di Kesultanan Banjar. Untuk mengantisipasinya, Belanda mengambil alih secara langsung pemerintahan Kesultanan Banjar dan meletakkannya di bawah pemerintahan seorang residen yang bernama Residen von Bertheim. Sepeninggal Sultan Tamjidillah II, musuh utama gerakan Muning, kini perlawanan beralih pada Belanda selaku  dalang  dalam sengketa di Kesultanan Banjar. Dukungan kepada Pangeran Hidayatullah kini lebih ditujukan untuk menghantam Belanda agar angkat kaki dari wilayah Kesultanan Banjar. Belanda yang awalnya tidak terlalu peduli dengan masalah internal Kesultanan
17
 Banjar, kini tidak mempunyai pilihan lain karena berhadapan secara langsung dengan kekuatan yang digalang oleh Pangeran Hidayatullah. Nama Pangeran Antasari mulai dikenal karena perseleisihan ini. Pangeran Antasari dipercaya oleh Pangeran Hidayatullah untuk menjadi penghubung antara istana, pemimpin pergerakan di daerah, dan rakyat.
Beliau menghimpun dan menggerakkan para pemimpin daerah beserta pengikutnya, mulai dari Muning, Benua Lima, Tanah Dusun, sampai Pasir. Bisa disimpulkan bahwa otak perlawanan pada Perang Banjar adalah Pangeran Antasari, meskipun pucuk pimpinan tertinggi yang diakui oleh rakyat Kesultanan Banjar kala itu adalah Pangeran Hidayatullah. Keterangan ini merujuk pada pernyataan Residen von Bertheim yang menjuluki Pangeran Antasari sebagai  Pemimpin Pemberontakan , jauh hari sebelum pertempuran pertama dalam Perang Banjar meletus pada tanggal 28 April 1859 Pada tanggal 28 April 1859, terjadi serangan pertama yang dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari. Dengan kekuatan sekitar 300 orang, Pangeran Antasari memimpin penyerbuan ke benteng Belanda di Pangaron. Setelah pertempuran pertama, beberapa pertempuran lain kemudian meletus, antara lain, pertempuran di benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 September 1859, pertempuran di kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859, penenggelaman kapal Onrust di sungai Barito oleh Tumenggung Surapati, seorang tokoh dari suku Dayak Siang, pada tanggal 26 Desember 1859, dan pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860 Pada tanggal 28 Januari 1862, Pangeran Hidayatullah menyerah kepada Belanda dengan alasan kesehatan. Tetapi karena Belanda bermaksud untuk membuang Pangeran Hidayatullah ke Jawa, maka beliau akhirnya melarikan diri.
Hanya berselang satu bulan, tepatnya pada tanggal 28 Februari 1962, Pangeran Hidayatullah kembali menyerah kepada Belanda. Akhirnya, pada tanggal 3 Maret 1862, dengan menggunakan kapal api Bali, Pangeran Hidayatullah dan keluarga dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Beliau meninggal di tempat pembuangan pada tahun 1904  Setelah pembuangan Pangeran Hidayatullah, pemimpin tertinggi perlawanan dalam Perang Banjar diambil alih oleh Pangeran Antasari. Pada tanggal 14 Maret 1962, Pangeran Antasari diangkat sebagai pimpinan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar). Beliau menyandang gelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mukminin. Upacara penabalan beliau dilakukan di hadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Tanah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan, yaitu Kiai Adipati Jaya Raja
Dirunut dari garis keturunan, ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut Masud bin Pangeran Amir bin Muhammad Aminullah bin Sultan Kuning, sehingga jika dilihat dari
18
garis keturunan, sebenarnya Pangeran Antasari adalah pewaris tahta Kesultanan Banjar yang sah, sebelum terjadinya pengusiran  atas pewaris tahta Kesultanan Banjar yang sah, Muhammad Aminullah, oleh Pangeran Tamjidillah yang bergelar Sultan Tamjidillah I. Akan tetapi kedudukan Pangeran Antasari sebagai pemimpin tertinggi yang diakui oleh rakyat di Kesultanan Banjar ternyata tidak berlangsung lama. Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari dikabarkan telah meninggal dunia karena penyakit cacar dan dimakamkan di Desa Bayan Bengok, di hulu sungai Teweh.
Beliau tidak pernah tertangkap dan tidak pernah menyerah kepada Belanda. Oleh karenanya foto Pangeran Antasari sulit ditemukan. Gambar yang dikenal sekarang merupakan ilustrasi dari ciri-ciri beliau yang dihimpun dari berbagai data dan divisualkan. Salah satunya adalah karya dari sebuah tim yang dibentuk berdasarkan SK Gubernur Kdh. Tkt. I Kalsel No. 0375 Tahun 1994 tanggal 28 Desember 1994. Lukisan tersebut sekarang ditempatkan di Museum Nasional, Jakarta. Atas kegigihannya dalam melawan Belanda, Pangeran Antasari ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 06/TK/Tahun 1968 tanggal 27 Maret 1968.
e. Runtuhnya Kerajaan Banjar
Awal abad 19, Inggris mulai melirik Kalimantan setelah mengusir Belanda tahun 1809. Dua tahun kemudian menempatkan residen untuk Banjarmasin yaitu Alexander Hare. Namun kekuasaanya tidak lama, karena Belanda kembali. Babak baru sejarah Kalimantan Selatan dimulai dengan bangkitnya rakyat Banjar melawan Belanda. Pangeran Antasari tampil sebagai pemimpin rakyat yang gagah berani. Ia wafat pada 11 Oktober 1862, kemudian anak cucunya membentuk PEGUSTIAN sebagai lanjutan Kerajaan Banjarmasin, yang akhirnya dihapuskan tentara Belanda Melayu Marsose, sedangkan Sultan Muhammad Seman yang menjadi pemimpinnya gugur dalam pertempuran. Sejak itu Kalimantan Selatan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Pengganti Pangeran Antasari adalah puteranya yang bernama Muhammad Seman. Di mata rakyat, beliau merupakan sultan Kesultanan Banjar terakhir yang mendapatkan tugas utama untuk menggantikan sang ayah dalam menjaga nyala api perlawanan dalam Perang Banjar. Perang Banjar merupakan peperangan yang diadakan kerajaan Banjar untuk melawan kolonialisasi Belanda. Perlawanan Muhammad Seman terpaksa harus terhenti karena beliau meninggal dunia dalam suatu pertempuran melawan Belanda di sungai Manawing pada tahun 1905. Beliau dimakamkan di puncak gunung di Puruk Cahu  Dengan meninggalnya Muhammad Seman, berarti
19
riwayat Kesultanan Banjar juga telah berakhir. Setelah Perang Banjar (1859-1905), Belanda membuat beberapa keputusan, antara lain Kesultananan Banjar dihapuskan dan seluruh bekas daerah Kesultanan Banjar dimasukkan ke dalam tatanan baru Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo . Dengan demikian berakhirlah riwayat Kesultanan Banjar yang telah berlangsung selama 379 tahun (1526-1905).

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari hasil pengumpulan data yang sudah saya cari dapat disimpulkan bahwa Dalam cerita rakyat dan Hikayat Banjar, di Kalimantan Selatan ini dulunya terdapat sebuah negara bernama Nan Sarunai lalu sirna, kemudian muncul Negara Dipa, lalu digantikan oleh kerajaan Daha. KESULTANAN Banjar  berdiri pada tahun 1520 . Kesultanan Banjar semula  berada di Kampung Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kesultanan Banjar kemudian dipindah ke Martapura, Kabupaten Banjar yang disebut juga Kerajaan Kayu Tangi. Kesultanan Banjar masuk Islam pada 24 September 1526. Kesultanan Banjar dihapuskan  oleh pemerintah Belanda pada 11 Juni 1860. Pemerintahan darurat/pelarian berakhir 1905). Pada masa masuknya pengaruh Hindu-Budha Sekitar abad XII berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Negara Dipa. Kerajaan ini dibangun oleh Empu Jatmika. Ia datang ke Pulau Hujung Tanah (Kalimantan) dengan rombongannya memakai kapal Prabajaksa, dalam rangka memenuhi wasiat almarhum ayahnya, Mangkubumi. Sepeninggalan ayahnya Empuh Jatmika disuruh meninggalkan Negeri Keeling, dan mencari tempat tinggal baru yang tanahnya panas dan berbau harum. Maka sampailah disuatu tempat yang bernama Pulau Hujung Tanah. Di daerah inilah ia kemudian menemukan tanah yang panas dan berbau harum seperti yang diwasiatkan oleh ayahnya, maka kemudian ia membuat Candi Agung dan Empuh Jatmika menyebut dirinya Maharaja di Candi tersebut. Negara Dipa semakin kuat dan wilayahnya bertambah luas. Sari Kaburungan sebagai raja ketiga dalam kerajaan Negara Dipa memindahkan pusat kerjaannya ke sebelah selatan. Maharaja Sukarama menjadi raja keempat dikerajaan Nagara Dipa menggantikan ayahnya Sari keburungan. Sukarama mempunyai tiga orang anak; Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumenggung dan Putri Galuh. Setelah wafatnya Sukarama, Pangeran Mangkubumi menggantikan kedudukannya sebagai raja, pada saat itu pula pecahnya perang saudara dimulai. Pangeran Tumenggung membunuh saudaranya sendiri Pangeran Mangkubumi lalu Pangeran Tumenggung menggantikan kekuasaan di Nagara Dipa. Saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha, menjelang akhir kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya yang bernama Raden Samudera. Akan tetapi, wasiat tersebut ditentang oleh ketiga anak Raden Sukarama yaitu Mangkubumi, Tumenggung dan Bagulung.

21
Karena hal itu dan Raden Samudra baru berumur 7 tahun maka yang menggantikan  Sukarama saat ia wafat ialah anak tertuanya yaitu Mangkubumi namun ia tidak berkuasa lama karna ia terbunuh oleh pegawai istana atas hasutan Tumenngung setelah Mangkubumi wafat maka Temenggung lah yang menjadi raja. Raden Samudera sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir Sungai Barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung orang melayu itu disebut Kampung Oloh Masih yang artinya kampung orang melayu pimpinan Pati Masih. Setelah beberapa serangan selalu seimbanag maka Patih menyarankan  kepada Raden Samudra agar meminta bantuan ke Demak. Dan yang menjadi Sultan Demak waktu itu ialah Sultan Trenggono, dimana ia bersedia membantu  Raden Samudra tetapi Raden Samudra harus masuk agama islam, kemudian Raden Samudrapun menyanggupi syarat yang di berikan Demak tersebut. Kemudian Demak mengirim seribu tentara untuk membantu Raden Samudra dan mengirim seorang penghulu (Khatib Dayan) untuk mengislamkann rakyat Banjar. Maka sejak saat itu Pangeran Samudra dinobatkan sebagai Sultan banjar pertama yang berkedudukan di ibukota Banjarmasih (Banjarmasin). Sejak beliaulah, Islam berkembang secara resmi dan menjadi Agama kerajaan didaerah ini.
Sultan Suriansyah(Raden Samudra) merupakan raja pertama dari Kerajaan Banjar dan raja pertama yang memeluk agama Islam.
Raja-Raja Kerajaan Banjar:
•    Sultan Suriansyah (1520-1546).
•    Sultan Sultan Hidayatullah I bin Rahmatullah (1570-1595
•    Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah I (1595-1638)
•    Sultan Inayatullah bin Mustainbillah (1638 -1645)
•    Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah (1645-1660)
•    Sultan Ri’ayatullah/Tahalidullah bin Sultan Mustainbillah (1660-1663)
•    Sultan Amrullah bin Sultan Saidullah (1663-1679)
•    Sultan Agung/Pangeran Suryanata II bin Sultan Inayatullah (1663-1679)
•    Sultan Amrullah (Raden Bagus Kasuma) bin Sultan Saidullah (1679-1700)
•    Sultan Tahmidullah I/Sultan Tahlilullah/Sultan Surya Alam bin Sultan Amrullah (1700-1717)
•    Panembahan Kasuma Dilaga bin Sultan Amrullah (1717-1730)
•    Sultan Hamidullah/Sultan Ilhamidullah bin Sultan Tahlilullah/Sultan Tahmidullah I (1730-1734).
•    Sultan Tamjidullah I bin Sultan Tahlilullah/Sultan Tahmidullah I (1734-1759)
•    Sultan Muhammadillah/Muhammad Aliud¬din Aminullah bin Sultan Hamidullah (1759-1761)
22
•     Sultan Tahmidullah II/Sultan Nata bin Sultan Tamjidullah I (1761-1801)
•    Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II (1801-1825)
•    Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mutamidullah (1825-1857).
•     Sultan Tamjidullah II al-Watsiq Billah bin Pangeran Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam (1857-1859)
•    Sultan Hidayatullah II bin Pangeran Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam (1859-1862)
•     Pangeran Antasari bin Pangeran Masohut bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1862)
•    Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (1862-1905).
•    Pangeran Khairul Saleh, trah Sultan Sulaiman (2010-sekarang).

Pengganti Pangeran Antasari adalah puteranya yang bernama Muhammad Seman. Di mata rakyat, beliau merupakan sultan Kesultanan Banjar terakhir yang mendapatkan tugas utama untuk menggantikan sang ayah dalam menjaga nyala api perlawanan dalam Perang Banjar. Perang Banjar merupakan peperangan yang diadakan kerajaan Banjar untuk melawan kolonialisasi Belanda. Perlawanan Muhammad Seman terpaksa harus terhenti karena beliau meninggal dunia dalam suatu pertempuran melawan Belanda di sungai Manawing pada tahun 1905. Beliau dimakamkan di puncak gunung di Puruk Cahu  Dengan meninggalnya Muhammad Seman, berarti riwayat Kesultanan Banjar juga telah berakhir. Setelah Perang Banjar (1859-1905), Belanda membuat beberapa keputusan, antara lain Kesultananan Banjar dihapuskan dan seluruh bekas daerah Kesultanan Banjar dimasukkan ke dalam tatanan baru Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo . Dengan demikian berakhirlah riwayat Kesultanan Banjar yang telah berlangsung selama 379 tahun (1526-1905).








23
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan

http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/04/06/sistem-politik-dan-pemerintahan-kerajaan-banjar/

http://kesultananbanjar.com/index.php?option=com_content&view=article&id=80:penobatan-raja-muda-kesultanan-banjar&catid=38:berita-lakkb

http://kesultananbanjar.com/index.php?option=com_content&view=article&id=78:keraton-banjar-dibangun-di-telok-selong-dananya-dari-provinsi-dan-sumbangan-perantau&catid=38:berita-lakkb

http://library.utem.edu.mye-melakakoleksi%20melakasejarahmn2008.pdf (online), diakses tanggal 16 April 2013.

http://www.al-khilafah.org/2011/06/kesultanan-banjar-bagian-khilafah-yang.html  (online), diakses tanggal 15 April 2013

http://kadahakunjua.blogspot.com/2009/02/cikal-bakal-kerajaan-banjar-di.html(online) diakses tanggal 16 April 2013

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banjar (online) diakses tanggal 16 April 2013
http://new.kesultananbanjar.com/sejarah-kesultanan-banjar/bagian-3/

http://new.kesultananbanjar.com/sejarah-kesultanan-banjar/sejarah-kesultanan-banjar-bagian-2/

http://new.kesultananbanjar.com/sejarah-kesultanan-banjar/kesultanan-banjar-1520-1860-part1/

http://handikap60.blogspot.com/2013/01/sejarah-perlawanan-rakyat-banjar.html

https://sriwatiblogs.wordpress.com/2013/07/03/nan-sarunai-negara-dipa-dan-negara-daha-fase-sebelum-kerajaan-banjar-historiografi-tradisional-kalimantan-selatan/










SEKIAN DAN TERIMAKASIH 




24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar